Inilah Kesesatan Aqidah Syi’ah
Abdullah bin Muhammad As-Salafi  
  Kunjungan Buku : 102615  
Inilah Kesesatan Aqidah Syi’ah
     Inilah Kesesatan Aqidah Syi’ah
     Mukaddimah
     Sejarah Lahirnya Rafidhah
     Sebab Penamaan Syi’ah dengan Rafidhah
     Berbagai Macam Sekte Rafidhah
     Aqidah Bada’ yang Diyakini oleh Rafidhah
     Aqidah Rafidhah tentang Sifat-sifat Allah
     Aqidah Rafidhahtentang al-Qur'an yang Dijaga Keotentikannya oleh Allah
     Aqidah Rafidhah tentang Para Sahabat Rasulullah
     Sisi Kesamaan Antara Yahudi dan Rafidhah
     Aqidah Rafidhah tentang Imam-imam Mereka
     Aqidah Raj’ah bagi Rafidhah
     Aqidah Rafidhah tentang Taqiyyah
     Aqidah Rafidhah tentang ath-Thinah
     Aqidah Rafidhah tentang Ahlus Sunnah
     Aqidah Rafidhah tentang Nikah Mut’ah dan Keutamaannya
     Aqidah Rafidhah tentang Kota Najf dan Karbala serta Keutamaan Menziarahinya
     Sisi Perbedaan Antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah
     Aqidah Rafidhah tentang Hari ‘Asyura dan Keutamaannya Menurut Mereka
     Aqidah Rafidhah tentang Bai’at
     Hukum Pendekatan Antara Ahlus Sunnah yang Mengesakan Allah dengan Syi’ah yang Menyekutukan-Nya
     Komentar Ulama Salaf dan Khalaf tentang Rafidhah
     Surat al-Wilayah yang Diakui Rafidhah Termasuk Satu Surat dalam al-Qur’an
     Lauh Fathimah Didakwakan Sebagai Wahyu yang Turun kepada Fathimah
     Doa Dua Patung Quraisy
     Penutup
     Referensi Penting untuk Membantah Aqidah Syi’ah
     Buku-buku Kontemporer
     Beberapa Situs Rujukan untuk Membantah Syi'ah
     Sambutan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
 
Aqidah Rafidhah tentang Nikah Mut’ah dan Keutamaannya

Mut'ah[1] memiliki keistimewaan yang besar dalam aqidah Rafidhah—kita berlindung kepada Allah dari kesesatan ini—Dikatakan dalam buku Minhajus Sha-diqin yang ditulis oleh Fathullah al-Kasyani, dari ash-Shadiq: “Mut'ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami.

Barangsiapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut'ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut'ah adalah kafir dan murtad.”[2]

Dinukil oleh al-Qummi dalam bukunya Man laa Yahdhuruhul Faqih, dari Abdillah bin Sinan, dari Abi Abdillah, ia berkata, “Sesungguhnya Allah I meng-haramkan atas orang-orang Syi'ah segala minuman yang memabukkan, dan menggantikan bagi mereka dengan mut'ah.”[3]

Disebutkan dalam Tafsiir Minhajus Shadiqin ka-rangan Mulla Fathullah al-Kasyani bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut'ah seka-li, maka dia telah merdeka dari neraka sepertiga jiwa-nya. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka dua pertiga jiwanya telah terbebas dari neraka. Barangsiapa melakukannya tiga kali, maka telah sempurna terbebas dari neraka.”

Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut'ah se-kali, maka dia telah selamat dari murka Allah Yang Ma-haperkasa. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka akan dikumpulkan bersama orang-orang shalih. Ba-rangsiapa melakukannya tiga kali, maka akan berde-sak denganku di surga-surga.”

Juga dikatakan bahwa Nabi r bersabda: “Barang-siapa melakukan nikah mut'ah sekali, maka dia telah mendapatkan derajat seperti Husain. Barangsiapa me-lakukannya dua kali, maka derajatnya seperti Hasan. Barangsiapa melakukannya tiga kali, maka derajatnya seperti Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa bermut'ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku.”[4]

Rafidhah tidak membatasi dengan jumlah tertentu dalam mut'ah. Disebutkan dalam buku Furu'ul Kaafi, at-Tahdzib dan al-Istibshar, dari Zurarah, ia bertanya kepada Abu Abdillah: “Berapa jumlah wanita yang boleh dimut'ah, apakah hanya empat wanita?” Ia men-jawab: “Nikahilah (dengan mut'ah) seribu wanita, kare-na mereka adalah wanita-wanita sewaan.”

Dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far, ia berpendapat tentang mut'ah, bahwa ia tidak hanya terbatas pada empat wanita, karena mereka tak perlu dicerai, tidak diwarisi, karena mereka adalah wanita sewaan.[5]

Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah I berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿29﴾ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٣٠﴾فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٣١﴾ المعارج

 

 

 â€œDan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 5-7)

Dari ayat di atas jelas, bahwa yang diperbolehkan untuk disetubuhi adalah istri yang sah, dan hamba sa-haya yang dimilikinya, selain dari itu diharamkan. Wa-nita yang dimut'ah adalah wanita sewaan, bukan istri, tidak mendapat warisan dan tidak perlu dicerai, berarti wanita ini adalah pelacur—semoga Allah melindungi kita dari hal ini.

Syaikh Abdullah bin Jibrin berkata, “Orang-orang Rafidhah menghalalkan nikah mut'ah berdalil dengan ayat:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٢٤﴾

 

 

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) seba-gai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, maka berikanlah ke-pada mereka maharnya (dengan sempurna), se-bagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah sa-ling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (An-Nisa: 24)

Untuk menjawab dalil mereka, maka bisa dikata-kan, ayat-ayat di bawah ini sampai dengan ayat yang dijadikan sandaran oleh orang Syi’ah, adalah berbicara masalah nikah yang sebenarnya dimulai dengan ayat:

لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا﴿١٩﴾ النساء

 

 â€œTidak halal bagi kamu, mempusakai wanita de-ngan jalan paksa.” (An-Nisa:19)

 

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ﴿20﴾ النساء

 

 â€œDan jika ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain.” (An-Nisa: 20)

Sampai dengan ayat:

 

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ﴿22﴾ النساء

 â€œDan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.” (An-Nisa: 22)

Kemudian ditambah lagi dengan ayat:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ﴿23﴾ النساء

 â€œDiharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu.” (An-Nisa: 23)

Setelah Allah menyebutkan jumlah wanita yang haram dinikahi baik disebabkan nasab keturunan atau sebab lainnya. Allah I berfirman:

 

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ﴿24﴾ النساء

 â€œDan dihalalkan bagi kamu selain yang demi-kian.” (An-Nisa: 24)

Maksudnya selain wanita yang disebutkan di atas, atau dibolehkan bagi kalian menikahi wanita-wanita lainnya.

Dan jika kalian menikahi mereka (selain yang di-sebutkan di atas) untuk kalian setubuhi, maka berikan maharnya yang telah kalian tentukan untuknya, dan jika mereka (para istri) membebaskan sebagian dari maharnya dengan kerelaan hati, maka tidak berdosa engkau menerimanya.”

Inilah sebenarnya tafsir dari ayat tersebut sesuai dengan penafsiran mayoritas sahabat Nabi dan para ulama tafsir sesudahnya.[6]

Lihatlah salah satu tokoh mereka yaitu at-Thuusiy dalam bukunya Tahdzibul Ahkam, sebenarnya meng-anggap jijik dengan nikah mut'ah ini seraya mencela-nya. Dia berkata: “Bila wanita ini dari kalangan ke-luarga mulia tidak boleh dinikahi secara mut'ah, kare-na ini akan menjadikan keluarganya tercemar dan wa-nita itu menjadi hina.”[7]

Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja,

bahkan mereka memperbolehkan menyetubuhi wani-ta melalui duburnya.

Disebutkan dalam buku al-Istibshar yang diriwa-yatkan dari Ali bin al-Hakam, ia berkata, “Saya pernah mendengar Shafwan berkata, “Saya berkata kepada ar-Ridha, “Seorang lelaki dari mantan budakmu meminta saya untuk bertanya kepadamu tentang suatu masalah, karena ia malu menanyakan langsung kepadamu.” Maka ia berkata, “Apa masalah itu?” Ia menjawab, “Bolehkah seorang laki-laki menyetubuhi istrinya me-lewati duburnya?” Ia menjawab, “Ya, boleh baginya.”[8]

 

 

 

Ñc&dÐ

 

 

 



[1]       Mut'ah adalah nikah kontrak dalam waktu tertentu. Bila sudah habis masanya, maka terputuslah ikatan pernikahan tersebut.

[2]       Mulla Fathullah al-Kasyani, Minhajus Shadiqin, 2/495

[3]       Ibnu Babawaih al-Qummi, Man laa Yahdhuruhul Faqih, hal. 330

[4]       Mulla Fathullah al-Kasyani, Tafsir Manhajis Shadiqin, 2/492, 493

[5]       Al-Furu' minal Kaafi, 5/451, at-Tahdzib, 2/188

[6]       Penjelasan dari Syaikh Abdullah bin Jibrin, dalil lain dari as-Sunnah tentang pengharaman nikah mut'ah adalah hadits ar-Rabi' bin Saburah al-Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bersama Nabi, beliau r bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

"Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah membolehkan bagi kalian nikah mut'ah. Ketahuilah, bahwa Allah telah mengha-ramkannya sampai Hari Kiamat, maka barangsiapa masih me-miliki, hendaklah melepaskannya dan jangan kalian ambil sedi-kitpun dari apa yang telah kalian berikan." (HR. Muslim, no. 1406)

[7]       At-Thuusiy, Tahdzibul Ahkam, 7/ 227

[8]       Al-Istibshar, 3/243


 

 
Retour a la page principale
قسم الأخـبـار :: الدفاع عن السنة